Oleh Herry Mardianto
TIDAK dapat dipungkiri bahwa keberadaan sastra Jawa sampai saat ini berada pada titik ndrawasi: hidup segan mati tak hendak. Hal ini bukan tanpa alasan karena sudah sejak lama huruf Jawa dilupakan dan tertinggal di emperan toko dipajangkan bersama kalender porno (Arswendo). Semasa hidupnya, Susilomurti (salah seorang pendiri surat kabar Kumandang) meragukan rasa handarbeni terhadap eksistensi sastra Jawa dan berpendapat bahwa sesungguhnya pengertian sastra Jawa masih terbatas pada ukuran-ukuran konvensional; andaran-andaran sebagai (sikap) sastrawan Jawa terhadap karya-karya mereka tidak banyak muncul -bahwa ada segolongan angkatan muda yang mempunyai kebulatan pandangan terhadap karya mereka dan berbuat dengan pembaruan-pembaruan, konkretnya belum ada atau tidak begitu terasa perkembangannya. Mungkinkah ini menjadi ciri perkembangan sastra Jawa yang bertolak dari anggapan wong Jawa ngenggoni semu?
Proses termaginalisasinya sastra Jawa, seperti juga disinyalir Arswendo, terjadi sejak tersapunya tembang macapat oleh teriakan lagu rock atau pop Melayu, bubarnya pengajaran sastra Jawa, dan leburnya bahasa raja dan prajurit dalam satu rasa dalam siaran televisi karena penggunaan bahasa Indonesia, baik dalam kethoprak, wayang kulit, ataupun wayang orang.
Semua ini dapat terjadi dengan adanya desakan nasionalisme yang mengedepankan pandangan bahwa bangsa
Untuk mengangkat keterpurukan sastra Jawa, pandemen sastra Jawa mendirikan sanggar-sanggar sastra sebagai wadah kegiatan sastrawan Jawa. Pada tahun 1970-an bermunculan berbagai sanggar sastra Jawa, antara lain Sanggar Nur Praba diprakarsai oleh Nursyahid Poernomo, Sanggar Sastra Sasanamulya (Arswendo Atmowiloto), Grup Diskusi Sastra Blora (Poer Adhie Prawoto), Sanggar Sastra Parikuning (Esmiet), dsb. Sanggar-sanggar tersebut mengadakan kegiatan diskusi untuk memotivasi anggota/peserta agar terus mencipta karya sastra Jawa.
Keterseokan kehidupan sastra Jawa lebih diperburuk oleh pemberlakuan kurikulum 1975 yang menyisihkan pengajaran bahasa (dan sastra) Jawa dari mata pelajaran wajib dengan alasan tidak dianggap penting dan menghambat proses nasionalisme. Ini merupakan kenyataan pahit yang harus diterima bahasa dan sastra Jawa karena sebelumnya pemerintah mengeluarkan kebijakan berlakunya Pedoman Ejaan Bahasa Jawa yang Disempurnakan mulai tanggal 18 Maret 1974. Proses meminggirkan sastra Jawa diperkuat dengan adanya kebijakan Politik Bahasa Nasional (1976) yang secara sistematis memporakporandakan kehidupan sastra daerah (termasuk di dalamnya sastra Jawa).
Dengan demikian sudah sepantasnya jika Yayasan Widita Jawa (YWJ) berinisiatif mengadakan kegiatan Ruwatan Sastra Jawa atau Pandonga Agung Sastra Jawi, Sabtu lalu di Pagelaran Keraton
Selain kegiatan yang sifatnya spiritual tersebut ada baiknya jika YWJ mengadakan kegiatan yang lebih konkret, bertindak sebagai pengayom agar sastra Jawa mengalami pencerahan, tidak jalan di tempat. Siapa tahu peran serta YWJ dapat melahirkan karya sastra Jawa setara dengan karya Dewi Dee Lestari, Supernova, yang memiliki nilai tambah menyisipkan sains dan spiritualitas dalam alur cerita. [kr/200102]
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
*) Herry Mardianto, Koordinator Komunitas Sastra Pinggir, Cebongan, Sleman.
No comments:
Post a Comment