Pengajaran sastra Jawa sebenarnya harus lebih ditekankan pada falsafah hidup atau ungkapan-ungkapan Jawa yang dapat memberikan nilai moral, nilai etika, dan nilai religius untuk anak muda sekarang ini. Sastra Jawa tidak hanya terpancang oleh tulisan Jawa dan susunan kata yang membentuk sebuah kalimat yang baik. Memang, dalam penggunaan bahasa Jawa untuk percakapan ada tingkatan-tingkatan tertentu untuk menghormati lawan bicara. Untuk yang lebih tua kita menggunakan bahasa krama alus dan krama inggil, sedangkan untuk teman sebaya kita menggunakan ngoko atau ngoko alus. Itu yang menyangkut tentang hal tata krama atau aturan dalam berbicara. Ada lagi yang tak kalah pentingnya yaitu pandangan hidup orang Jawa atau falsafah orang Jawa.
Orang Jawa terkenal dengan tutur kata halus dan tingkah laku sopan. Kita dapat melihat anak muda zaman sekarang sudah jarang menggunakan bahasa Jawa, apalagi pandangan hidup orang Jawa. Padahal, pelajaran bahasa Jawa diajarkan di sekolah dari sejak sekolah dasar sampai menengah atas. Bahasa Jawa adalah bahasa ibu. Ketika kita masih kecil kita selalu disanjung istilah dalam bahasa jawanya dikudang untuk melantunkan doa-doa dan pengharapan supaya kita menjadi anak yang berbakti dan berguna. Anak muda adalah generasi penerus yang harus mewarisi khazanah kekayaan budaya Jawa. Bila tidak kita sebagai penerus budaya Jawa mau siapa lagi? Itu adalah hukum alam, yaitu adanya regenerasi baru untuk kelangsungan budaya terdahulu.
Budaya Jawa adalah budaya yang adiluhung. Keraton sebagai salah satu sumber kebudayaan Jawa merupakan anutan atau contoh untuk orang-orang yang berada di luar keraton. Budaya Jawa dalam keraton merupakan budaya tinggi. Hal itu berbeda dengan kondisi yang terjadi di luar yang cenderung tidak begitu formal dan konvensional dalam pemahaman dan penerapan budaya Jawa.
Falsafah orang Jawa itu memang terlalu rumit dan terlalu banyak aturan-aturan yang harus dipegang atau dipertahankan. Tetapi bukan berarti kita harus meninggalkannya. Di situlah letak kearifan budaya Jawa. Setiap orang tidak boleh seenaknya sendiri, harus mempunyai rasa ewuh pekewuh dengan orang lain supaya ada keselarasan hidup yang lebih baik.
Saat ini kebudayaan Jawa berada dalam persaingan kompleks menghadapi perubahan-perubahan besar yang begitu cepat. Kita sebagai manusia Jawa harus dapat bertahan walaupun benturan-benturan budaya asing sangat terasa. Kita dapat melihat dari tayangan televisi. Kita tonton sehari-hari film luar negeri yang selalu menawarkan super hero dan kemustahilan-kemustahilan, sinetron yang mengagungkan gaya hidup dan kekayaan atau acara reality show yang dengan sekejap dapat menjadikan seseorang sebagai super star tanpa harus bekerja keras.
Manusia Jawa selalu mengutamakan proses atau laku untuk sebuah pencapaian. Dalam falsafah jawa “sapa nandur bakal ngundhuh” di mana sesuatu itu memerlukan suatu proses panjang secara bertahap bukan instant seperti pada saat sekarang orang seakan–akan memaksakan segala sesuatu harus serba cepat sehingga dapat menimbulkan ekses negatif. Karena ingin kaya seseorang mungkin tidak mau bekerja keras tetapi memilih untuk melakukan tindakan korupsi dengan mengabaikan etika dan hukum.
Orang sering lupa bahwa “jeneng” lebih berharga daripada “jenang” (harga diri lebih mulia daripada kekayaan haram). Untuk mencapai jeneng biasanya orang Jawa akan melakukan prihatin atau tirakat atau tapa brata untuk kebaikan diri sendiri, keluarga, keturuanan, dan masyarakat. Kita diingatkan bagaimana Panembahan Senopati tapa brata demi keturunanya yang menjadi penguasa tanah Jawa dengan mengabaikan kenikmatan duniawi bagi diri sendiri. Adakah orang sekarang yang seperti itu?
Kebanyakan demi ambisi pribadi lupa bahwa dia mempunyai keturunan yang akan meneruskan sejarah hidupnya. Mari kita lihat bagaimana orang dalam usia senja masih sibuk dengan kedudukan, harta, dan asmara, seakan dunia ini hanya miliknya abadi. Dengan tanpa malu-malu kalau tertangkap basah dalam tindak kejahatan yang dilakukan lalu berlindung dengan apologi-apologi murahan.
Kesadaran atas budaya Jawa mungkin bisa menjadi kontrol bagi kita untuk tidak selalu ingin mencapai segala sesuatu dalam hal materi (ekonomi), kekuasaan, dan kenikmatan duniawai. Budaya Jawa masih relevan untuk menjadi sumber hikmah dalam kehidupan modern sekarang ini. Ciri mendasar dari budaya Jawa yang dapat kita terapkan adalah kesadaran hidup secara utuh jiwa dan raga, harmonisasi, dan pengutamaan etika dalam hidup bersama orang lain.
No comments:
Post a Comment