Monday, November 23, 2009

MENAFSIRKAN PEREMPUAN DALAM WAYANG



Wayang merupakan seni adi luhung yang masih eksis sampai saat ini. Wayang sepertinya telah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat Jawa. Faktanya, pertunjukan wayang sering dilakukan di mana saja dan kapan saja, serta dalam acara apa saja. Wayang sejak dulu kala dianggap sebagai cerminan hidup, berupa ajaran-ajaran hidup yang meliputi etika, politik, pendidikan, dan lain-lain dalam bentuk simbol. Oleh sebab itu, wayang merupakan sumber pengetahuan hidup yang tidak gampang dipahami secara menyeluruh karena sifatnya yang simbolis. Barangkali karena sifat simbolis itulah yang membuat wayang awet sepanjang masa.
Menurut Franz Magnis-Suseno, dalam buku Etika Jawa (1998), dikatakan bahwa orang Jawa memakai wayang sebagai cara untuk memahami makna hidup. Cara paling mendasar adalah membuat identifikasi diri terhadap tokoh-tokoh tertentu, entah dewa, ksatria, raja, brahmana, raksasa, punakawan, dan lain-lain. Selanjutnya, Franz Magnis-Suseno dalam buku Wayang dan Panggilan Manusia (1995) mengatakan, belajar memahami makna hidup melalui wayang tidak mungkin lepas dari paradoks. Maksudnya, kebaikan dan keburukan manusia itu relatif dan hanya memiliki perbedaan tipis. Ajaran moral dalam wayang tergantung pada relativitas norma-norma umum dengan maksud mengembangkan toleransi dan mawas diri.
Cerita-cerita wayang yang diambil dari epos Ramayana dan Mahabarata mengandung banyak sekali sumber pengetahuan dan pembelajaran bagi manusia untuk memahami makna hidup. Tokoh-tokoh pewayangan yang dikenal masyarakat biasanya tokoh dengan jenis kelamin laki-laki. Padahal, banyak tokoh-tokoh perempuan yang sebenarnya dapat dijadikan panutan ataupun cerminan hidup. Beberapa tokoh perempuan yang terkenal dalam wayang, antara lain Sinta, Kunti, Drupadi, Srikandi, Sumbadra, dan lain-lain.
Perhatian terhadap tokoh-tokoh perempuan dalam pewayangan terkadang dimunculkan dalam bermacam-macam tafsir. Dalam karya sastra Indonesia dan Jawa, tafsiran mengenai tokoh perempuan sering muncul dalam bentuk puisi dan prosa. Tafsir terebut menonjolkan beberapa unsur sesuai dengan pemahaman pengarang dan pembaca. Tafsiran yang lain bisa ditunjukan dalam media-media berbeda, misalnya film. Pada akhir-akhir ini, kita tahu ada usaha beberapa orang-orang sinema untuk mengangkat kisah-kisah wayang dalam bentuk film. Garin Nugroho mengguncang dunia perfilman di Indonesia dan dunia internasional dengan film Opera Jawa. Kemudian Garin Nugroho juga mementaskannya dalam bentuk kolaborasi teater dan film. Film terbaru lainnya, yang diangkat dari kisah wayang, adalah Drupadi yang disutradarai oleh Riri Reza, dengan penulis skenario Leila S Chudori. Dua film itu memusatkan perhatian pada tokoh dan tema yang sering dihadapi perempuan sejak dulu hingga sekarang, yakni cinta dan kekuasaan.
Perempuan dalam wayang
Tokoh-tokoh perempuan dalam pewayangan memiliki keunikan dalam sifat dan perjalanan hidup. Barangkali yang paling terkenal di masyarakat adalah cerita mengenai sosok Sinta dan Drupadi. Nama Sinta bahkan sering dipakai oleh para orang tua di Jawa untuk menamakan anaknya yang perempuan, dengan harapan memiliki sifat-sifat seperti Sinta. Pengorbanan dan kesetiaan Sinta mencerminkan kodrat kaum perempuan yang memiliki komitmen dan kepasrahan demi kebenaran, cinta, maupun keharmonisan keluarga serta alam semesta.
Masyarakat Jawa banyak yang terkesan dengan sosok Sinta. Satu sisi, Sinta adalah korban dari cinta dan kekuasaan, akan tetapi di sisi yang lain, Sinta adalah suara hati nurani manusia yang masih percaya pada kebenaran dan kebaikan. Sinta bisa saja ditafsirkan selalu menjadi pihak korban ketika diculik Rahwana dan disangsikan kesuciannya oleh Rama, suami yang sangat dicintainya. Posisi itulah, yang sering membuat kaum perempuan kritis menilai peran perempuan dalam kehidupan ini. Kaum perempuan menuntut kesejajaran gender tanpa diskriminasi, dan menggugat dominasi laki-laki yang terkadang membuat perempuan jadi korban, pihak yang dikalahkan.
Tokoh perempuan lainnya yang penting, yakni Drupadi. Tokoh ini memiliki kisah hidup yang penuh cobaan dan penderitaan, namun pada akhirnya menemukan kebahagiaan dan balasan setimpal. Bagian-bagian hidup dari Drupadi senantiasa menarik perhatian karena posisinya sebagai orang lemah dan dikorbankan. Kisah inspiratif Drupadi tersebut, diceritakan ulang oleh Apriastuti Rahayu dalam novel Drupadi (Permaisuri Pandawa yang Teguh Hati), terbit tahun 2006. Novel ini sengaja ingin menonjolkan sosok Drupadi, baik dalam judul maupun isi. Tetapi, pada kenyataannya kisah Drupadi dalam novel ini masih seperti sebagai pelengkap, belum benar-benar jadi fokus dari pengarang.
Drupadi, sejak awal, dipandang sebagai komoditi atau objek. Hal itu terbukti dengan penyelenggaraan sayembara dengan hadiah Drupadi. Pemenang berhak menjadikan Drupadi sebagai istri. Pemenang sayembara adalah Arjuna. Meskipun demikian, Drupadi tidak hanya diperistri oleh Arjuna saja, tapi Drupadi memiliki lima suami. Mereka itu adalah Pandawa. Drupadi sebenarnya terima dengan kenyataan itu, dan ingin membaktikan dirinya sebagai istri yang baik, setia, dan teguh hati. Drupadi dengan lima suami itu sering dituduh pelacur atau wanita murahan. Tapi, Drupadi memahaminya sebagai takdir.
Kenyataan pahit terulang kembali, ketika Yudhistira mewakili Pandawa bermain dadu dengan taruhan yang tak masuk akal. Yudhistira kalah berulangkali melawan Sakuni, wakil Kurawa. Harta, kerajaan, adik-adiknya, dirinya, sekalian istrinya dijadikan taruhan tapi kalah. Drupadi kembali menjadi objek, bahkan korban, sebab Yudhistira tidak meminta persetujuan, minimal memberitahukan lebih dulu bahwa dirinya jadi taruhan di dalam judi dadu. Nasib Drupadi sungguh menyedihkan. Tragisnya, di hadapan banyak orang, dirinya dipermalukan oleh Kurawa yang berusaha menelanjanginya. Beruntung, kain yang dikenakan Drupadi tak bisa lepas karena mendapatkan keajaiban dari dewa. Pada bagian cerita ini, Drupadi adalah korban. Anehnya, yang mengorbankan dirinya adalah suami yang dicintainya, yakni Yudhistira.
Penistaan dan perlakuan tak senonoh terhadap Drupadi membuat Bima marah besar, sehingga mengeluarkan sumpah untuk membunuh Dursasana sebagai penebusan dosa. Drupadi juga bersumpah tidak akan mengikat rambutnya sampai bisa dibasahi dengan darah Dursasana. Sumpah itu terkabulkan setelah tiga belas tahun lamanya. Drupadi akhirnya bisa membalas perlakuan kejam atas dirinya oleh pihak Kurawa. Tetapi yang aneh adalah Drupadi tidak memiliki keinginan besar untuk menuntut keadilan terhadap suaminya, Pandawa, yang mengorbankan dirinya. Sebab yang paling mungkin, Drupadi memegang teguh janji sebagai istri, sehingga dia pasrah dan berharap atas kebaikan dari lima suaminya.
Bercermin pada wayang
Tokoh Sinta dan Drupadi merupakan cerminan nasib kaum perempuan sejak dulu sampai sekarang. Kaum perempuan dalam kenyataan hidup sering mengalami diskriminasi, dijadikan objek, bahkan dijadikan korban demi kekuasaan ataupun harga diri laki-laki. Tokoh-tokoh perempuan dalam cerita wayang mungkin sukar untuk dirubah nasibnya, tetapi dalam kehidupan nyata kaum perempuan berhak mengubah nasib demi emansipasi dan kesetaraan gender.
Wayang adalah cerminan hidup. Segala kisah kaum perempuan yang penuh penderitaan mestinya menjadi renungan untuk menentukan sikap dan agenda perubahan. Perempuan adalah makhluk hidup yang memiliki kebebasan dan potensi tanpa harus selalu dijajah atau didominasi oleh kepentingan kaum laki-laki. Kaum perempuan sepatutnya mengambil hikmah positif dari cerita Sinta dan Drupadi. Sedangkan diskriminasi terhadap dua tokoh itu bisa memicu kesadaran kaum perempuan agar berani mengekspresikan diri untuk melawan penindasan ataupun kekerasan.
Sri Mulyono, dalam buku Wayang dan Karakter Manusia (1977), mengatakan bahwa wayang menyajikan tontonan hidup. Dalam wayang, kenyataan hidup digelar atau dipentaskan secara simbolis sebagai suatu lakon. Kita dituntut untuk menguak dan membedahnya. Jadi, untuk memahami wayang dengan berbagai macam simbolisme sangat tergantung pada alat atau pisau bedah yang kita miliki. Wayang sebenarnya dapat menyadarkan kaum perempuan untuk menunjukan eksistensi dirinya dengan semangat emansipasi atau pembebasan dari segala bentuk diskriminasi, penindasan, tindak kekerasan, pelecehan. Semoga saja.

No comments: