Setiap selesai membaca buku-buku tentang menulis, saya sering merasa optimis dan pesimis. Optimis karena mendapatkan solusi untuk menulis, tapi juga pesimis karena susah mencari alasan untuk segera menulis. Campuran rasa optimis dan pesimis biasanya jadi mimpi di siang hari, mimpi indah namun sesaat.
Bagaimana cara menumbuhkan rasa optimis untuk menulis? Arswendo Atmowiloto sering mengompori orang dengan istilah “mengarang itu gampang”. Gampang menurut siapa? Saya selalu mencoba untuk menjadi orang yang bisa menulis dengan alasan “mengarang itu gampang”.
Saya mulai menulis geguritan dan cerkak (cerita cekak). Beberapa tulisan sudah jadi, entah baik atau jelek. Rasa optimis tiba-tiba pupus oleh pertanyaan mengenai tulisan itu mau dikirim ke mana, untuk siapa, dan untuk apa. Saya sadar bahwa media massa cetak yang memiliki ruang sastra Jawa hanya sedikit dan kurang mendapatkan perhatian dari pembaca.
Saya mulai mengirim tulisan ke sebuah koran lokal. Tulisan tak ada yang dimuat. Saya mulai putus asa. Karya sastra Jawa memang sudah tidak laku atau ketinggalan jaman. Sastra Jawa kehilangan pembaca. Masyarakat dan pemerintah sudah tidak peduli dengan sastra Jawa. Saya sering terbawa emosi sehingga terkadang percaya dengan pendapat-pendapat tersebut.
Perubahan terjadi ketika saya bertemu kritikus sastra, Bandung Mawardi, dalam acara Sekolah Menulis Fiksi di Solo. Beberapa keluhan dari saya didengarkan dengan senyum seperti mengejek atau iba. Bandung memberi tanggapan yang simpati, bahwa untuk menumbuhkan rasa optimis dalam menulis seseorang harus memiliki niat. Niat menulis tersebut diucapkan dalam hati, dilisankan dengan mulut, kemudian dibuktikan dengan tindakan. Saya menganggap itu khotbah murahan tapi memang penting.
Bagaimana cara menjaga rasa optimis dalam menulis? Bandung dengan enteng menjawab bahwa optimis itu dijaga dengan menulis. Jadi, menjaga rasa optimis menulis dengan menulis? Jawaban tersebut mengingatkan saya pada Suparto Broto, pengarang sastra Indonesia dan sastra Jawa, dalam seminar sastra Jawa di Taman Budaya Jawa Tengah. Suparto Broto mengatakan bahwa menulis harus dengan optimis.
Optimis yang dimaksudkan Suparto Broto yaitu menulis dan tulisan penting untuk hidup manusia. Nilai penting itu harus diciptakan, tidak harus menunggu orang lain atau redaktur koran yang mengapresiasi atau memuat tulisan. Suparto Broto mencontohkan bahwa dirinya sadar jarang penerbit mau menerbitkan karya-karya sastra Jawa. Hal itu membuat Suparto Broto berani membiayai sendiri untuk menerbitkan buku agar optimisme menulis terus terjaga.
No comments:
Post a Comment