Sejarah manusia sering terekam dalam folklor, mitologi, dongeng, hikayat, cerita rakyat, legenda, fabel, dan lain-lain. Cerita dengan mengambil tokoh-tokoh hewan sebenarnya digunakan untuk menceritakan manusia. Nusantara ini memiliki banyak cerita tentang sejarah, asal-usul tempat, politik, maupun upacara tradisi yang bersumber dari cerita bertokoh hewan-hewan. Buaya, kera, anjing, burung, kuda, gajah, harimau, kancil, babi, kambing, semut, ular, dan yang lain-lain merupakan tokoh-tokoh terkenal yang kita tahu dari dongeng orangtua, buku, maupun film.
Hewan dalam cerita dimaksudkan menggambarkan sifat-sifat manusia. Mungkin saja, tokoh hewan dipilih agar tidak terlalu menyinggung perasaan. Bisa juga, tokoh-tokoh hewan dipilih karena mencerminkan kritik yang tidak begitu membahayakan, jika terpaksa berhadapan dengan kekuasaan dan hukum. Masyarakat zaman dulu sudah pintar dan kaya imajinasi, sehingga mampu merangkai cerita sebagai cerminan hidup. Artinya, pemilihan tokoh-tokoh hewan dalam cerita juga menunjukkan kedekatan dengan alam, sekaligus kepekaan mengetahui naluri manusia, yang kadang-kadang memiliki kemiripan seperti naluri hewan.
Hewan-hewan yang diceritakan biasanya mewakili kekuatan yang baik dan yang jahat. Hikmah dari cerita hewan ditujukan membuat manusia memilih sikap, agar tidak terjerumus dalam limbah kejahatan mapupun kesesatan. Cerita hewan juga mengandung ajaran etika, pembelajaran sejarah, dan hiburan yang membuat masyarakat mau untuk menceritakannya berulang-ulang, kemudian diwariskan secara turun-temurun. Hewan dijadikan cerminan bagi manusia. Sifat-sifat yang dimiliki hewan bisa saja dimiliki juga oleh manusia. Sifat jahat atau kejam dari manusia kadang melebihi kebuasan hewan. Hikmah dalam gambaran sifat-sifat dan perilaku itulah yang membuat cerita hewan terus dinikmati oleh masyarakat sampai sekarang.
Nama-nama dan sifat-sifat hewan terkadang dipakai oleh kita dalam peribahasa atau mengumpat. Anehnya, kita tidak ragu-ragu mengambil nama hewan untuk kepentingan yang mungkin saja semakin memburukkan citra hewan. Nama-nama hewan tertentu sering muncul dalam peribahasa. Contohnya, biarlah anjing menggonggong, tapi kafilah tetap berlalu. Nama-nama hewan dalam masyarakat Jawa juga sering dipakai untuk ekpresi marah, mengumpat. Contohnya, anjing, babi, jangkrik, dan lain-lain. anehnya, nama-nama hewan terkadang digunakan juga untuk nama panggilan, entah untuk menjelek-jelekkan atau hanya sensasi.
Cerita-cerita hewan terdapat dalam banyak peradaban. Di Barat, cerita hewan juga memiliki kedudukan penting, seperti terungkapkan dalam mitologi-mitologi Yunani. Hewan dijadikan sumber pembelajaran yang berharga, yang ditafsirkan terus-menerus untuk menemukan relevansi dengan zamannya. Cerita hewan jarang dilupakan, sebab dekat dengan realitas sehari-hari. Hal demikian mempengaruhi masyarakat Barat juga memunculkan tafsir-tafsir rasional, tidak hanya fantasi dan imajinasi, agar memiliki hikmah yang mencerdaskan sekaligus menghibur.
Pemanfaatan karakter hewan dalam sastra mendapat perhatian besar dalam novel terkenal, Animal Farm, karya George Orwell. Novel terbaik Orwell ini menceritakan kebrengsekan, kelicikan, keserakahan, kesombongan, dan kekejaman manusia dalam meraih kekuasaan dan kekayaan. Animal Farm merupakan bentuk modern dari cerita rakyat, sebab mencerminkan kondisi zaman modern pada abad ke-20 yang diwarnai dengan perang dan dekandensi moral manusia. Orwell memotret itu semua dalam bentuk novel yang kritis, penuh satir, dan menuntut kita untuk sadar diri. Dunia binatang dijadikan cerminan yang pasa untuk merekam situasi zaman, yang membutuhkan imajinasi dan kecerdasan tak sembarangan.
Konon, naskah Animal Farm itu sering ditolak oleh banyak penerbit. Akhirnya, ada sebuah penerbit mau menerbitkan naskah tersebut, tetapi digolongkan sebagai cerita dongeng, bukan novel. Masyarakat Eropa membacanya, kemudian tersentak, ternyata Animal Farm merupakan novel jenius tentang gambaran dunia Eropa. Orwell berhasil mengungkapkan ejekan-ejekan halus dan tajam pada sistem pemerintahan totaliter di Eropa. Masyarakat disadarkan oleh novel tersebut, yang sering dikatakan sebagai buku satir modern. Orwell sudah membuktikan, cerita hewan pada zaman modern masih laku, dan tetap memiliki relevansi dengan banyak masalah kehidupan kita.
Usaha keras juga ditunjukkan oleh James Finn Garner, seorang penulis dan pemain teater dari Amerika. Ia menulis ulang dan memplesetkan dongeng-dongeng lama, sebagian mengisahkan tentang dunia hewan, dalam buku Politiccally Correct Bedtime Stories. Buku dongeng modern yang penuh plesetan tersebut mencerminkan keinginan pengarang untuk memberi tafsiran ulang, serta memunculkan makna baru.
Dalam cerita Tiga Babi Kecil, diceritakan tentang cara pertahanan diri babi dari ancaman keserakahan serigala. Tiga babi membangun rumah dengan bahan-bahan berbeda, ada yang memakai jerami, ranting, dan batu bata. Suatu hari serigala muncul ingin memangsa dan menggusur masyarakat babi. Tempat tinggal babi ingin dijadikan kompleks perumahan, perkebunan, dan pusat ekonomi oleh kaum serigala. Tiga babi bertahan, meski rumah dengan bahan jerami dan ranting dapat dihancurkan serigala. Mereka selamat dalam rumah tembok lalu membuat surat protes ke Perserikatan Bangsa-Bangsa agar mereka dilindungi dan diberikan hak hidup tanpa ancaman. Usaha itu berhasil, ditambahi juga kematian serigala karena serangan jantung ketika hendak ngotot menggusur perkampungan babi.
Cerita tersebut dekat dengan realitas zaman modern yang banyak konflik dan perang. Negara kita juga sedang memiliki cerita hewan, cicak lawan budaya. Cerita ini telah membuat kita kecewa dan prihatin, sebab cerita ini bersumber dari fakta, hukum di negara ini telah rapuh dan pejabat negara tak mungkin dipercayai lagi. Cicak yang dianggap kecil mendapat sokongan dari banyak pihak, sehingga tidak mau menyerah pada buaya. Cerita hewan ini belum berakhir, saat masyarakat sudah mulai ragu dan putus asa. Ingat, ini kenyataan, bukan novel tentang hewan, tapi kasus hukum yang kontroversial!
No comments:
Post a Comment