Monday, September 1, 2008

Menimbang Kembali Kondisi Kritik Sastra Kita

Oleh: Sudarmoko

Kondisi kritik sastra yang berorientasi pada keilmuan dan kebutuhan sastra masih terus diliputi tanda tanya. Penelitian sastra Indonesia yang dilakukan oleh para peneliti di lingkungan akademis berjalan sebanding dengan kebijakan akademis dan struktural yang dilakukan oleh pihak akademi, maupun pada skala yang lebih besar negara, melalui departemen di bidang kebudayaannya. Mau tak mau, hal ini sudah dimengerti secara umum, penelitian sastra belum mengarah pada usaha yang maksimal. Setidaknya, melihat kondisi yang ada, seharusnya kondisi kritik sastra dapat lebih baik dari kondisi yang ada saat ini.

Pihak akademi (katakanlah universitas) belum secara penuh menggali dan mengeksplorasi berbagai kekayaan sumber dalam sastra yang ada. Padahal, bila dilihat letak geografis dan kemungkinan capaian yang dihasilkan, tidaklah berlebihan bila mengharapkan hasil yang lebih yang dapat dicapai oleh berbagai universitas, khususnya fakultas sastra (ilmu budaya) dan lembaga lain yang mempunyai bidang kajian yang serupa. Misalkan masing-masing universitas, yang notabene di beberapa provinsi masing-masing memiliki lebih dari satu universitas yang memiliki fakultas sastra, plus sekolah tinggi seni, bila para dosennya melakukan penelitian sastra lokal, misalnya, maka akan dihasilkan jumlah penelitian yang lebih dari keadaan pada hari ini.

Apa yang sebenarnya terjadi? Ke manakah hasil-hasil penelitian yang ada itu? Atau dapatkah diterka bahwa memang sedikit yang melakukan penelitian dan memberikan kontribusi penting bagi penelitian sastra Indonesia? Karena dapat dilihat bahwa proyek penelitian di lembaga pendidikan dan penelitian masih terus berjalan, dalam segala level cakupannya.

Pertanyaan ini masih bisa diteruskan dengan berbagai nada kekhawatiran dan sinisme yang rasanya patut dikemukakan. Pergerakan kemunculan nama-nama dalam kajian sastra Indonesia terasa lamban. Padahal, sejarah sastra Indonesia telah berjalan lama berikut berbagai diskusi di dalamnya. Krisis kritikus, seperti dicatat Jassin, terus berlangsung. Bila Taufiq Ismail mencatat bahwa pembaca sastra sangatlah jarang, maka, lebih-lebih lagi, hanya sebagian kecil dari pembaca itu yang kemudian mereproduksi bacaannya. Kritik sastra menjadi wilayah yang sepi dan rapuh.

Kemandekan pemikiran

Untuk melihat lebih jauh permasalahan di atas, baik dilihat juga bagaimana sistem pengajaran yang diterapkan di kelas-kelas sastra, baik di universitas maupun di sekolah-sekolah. Bila bahan-bahan yang diajarkan di berbagai kelas sastra itu tak diperbaharui, maka yang terjadi adalah kemandekan pemikiran dan penawaran dalam melihat sastra dan segala fenomena yang terjadi di dalamnya.

Sastra lalu menjadi fosil dalam kelangsungan proses pembelajaran. Padahal, sastra terus berkembang. Hingga saat ini pengajar sastra belum mereproduksi pembicaraan mengenai kritik sastra dalam bahasa yang bisa dikomunikasikan dengan murid atau mahasiswa. Apalagi membahasakannya kepada publik yang lebih luas melalui media massa. Pun, kritik sastra di media massa seperti monolog yang tak jelas pengaruhnya dalam arus komunikasi yang berusaha dijalin. Idealnya kritik-kritik sastra yang ada itu mendapatkan pembicaraan dalam kelas-kelas sastra dengan membedahnya lebih lanjut, seraya menghadirkan wacana tandingan.

Dari pembedahan itu, diharapkan akan menimbulkan pandangan kritis yang menjalar pada pencarian sumber-sumber baru, sudut pandang baru, dan alternatif penawaran yang baru. Bila ini terjadi, maka akan bermunculanlah berbagai pandangan baru dalam melihat sastra. Sekecil apa pun reaksi yang diberikan, sastra tetaplah membutuhkannya. Nilai-nilai dalam sastra hanya akan muncul lewat interpretasi dan diskusi. Bila hal ini diabaikan, tidak mustahil sastra akan menemui kebuntuan. Karena sifatnya yang taksa, nilai dan makna serta pesan karya sastra memungkinkan untuk melakukan diskusi terus-menerus dan dari situ akan muncul berbagai kemungkinan baru.

Melihat kondisi yang ada, setidaknya diperlukan peneliti dan orang yang mencintai sastra sebagai sebuah kajian, dan bukan sebagai sebuah kegenitan. Berbeda dengan penulis karya kreatif yang bisa berlatar apa saja. Meski kritik sastra bukanlah ranah otoritas mutlak bagi mereka yang terdidik dalam jalur bidang sastra saja. Saat ini semakin banyak muncul sejumlah penulis esai sastra yang membuat pembicaraan sastra semakin riuh dan kadang tak memiliki bangunan analisis yang kuat.

Dari kecintaan dan keseriusan dalam melakukan penelitian sastra, maka akan bermunculan pribadi-pribadi yang meletakkan sastra sebagai subjek dan objek kajian. Sastra tidak lagi dilihat sebagai sebuah fosil yang harus diutak-atik, namun lebih sebagai gejala yang menggoda dan memikat perhatian. Hal ini dimungkinkan oleh semakin banyaknya karya yang tak tersentuh. Sebagian karya sastra hingga saat ini bahkan tak pernah menjadi perhatian karena kekurangan daya, baik dari karya itu sendiri maupun dari para peneliti.

Media publikasi

Persoalan berikutnya adalah masalah media publikasi. Dalam hal ini, memang koran-koran dan majalah yang menyediakan ruang budaya dan sastra secara khusus disediakan oleh hampir semua penerbitan. Namun, untuk meningkatkan motivasi dan kegairahan dalam meneliti dan mempublikasikan hasil penelitian tetap dibutuhkan ruang khusus yang memiliki nuansa khusus pula. Setidaknya, diperlukan sebuah berkala yang khusus menjadi ruang publikasi dan dialog keilmuan sastra, bukan hanya koran atau majalah yang editorialnya menyerahkan sebagian besar tanggung jawab pada penulisnya, karena ruang dan waktu yang mendesak.

Demikian juga tak banyak buku yang berangkat dari hasil penelitian yang serius, dan bila pun ada, maka itu sangat langka karena harus menunggu seseorang menyelesaikan S2 atau S3, yang sistemnya bisa dipertanggungjawabkan secara akademik. Apa jadinya sebuah bidang ilmu tanpa ada jurnal atau media yang bergengsi untuk mempublikasikan hasil-hasil penelitiannya. Memang, dari lembaga bernama Pusat Bahasa (atau Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa dulu) muncul berbagai buku hasil proyek penelitian sastra. Memang tidak semua buku itu representatif, karena memang kebanyakan sangat konvensional dan kaku. Contoh yang menarik adalah ditiadakannya (untuk sementara) kategori nonfiksi untuk Kathulistiwa Literary Award karena alasan minimnya jumlah buku kategori ini yang diterbitkan (Kompas, 2/7/2005).

Berlanjut dengan apa yang pernah ditulis oleh Amien Wangsitalaja setahun lalu (Republika, 4/7/2004) diperlukan juga sebuah Dewan Sastra yang mengurusi penelitian dan media publikasi berupa jurnal. Bukan hanya membonceng sebuah lembaga bernama Pusat Bahasa atau Balai Bahasa, yang sebagian besar hanya berupa kerja-kerja proyek. Pemikiran dan usulan Amien ini semakin mendesak karena perkembangan keilmuan dan kajian sastra Indonesia seharusnya dapat lebih baik dari keadaan saat ini. Bila hal ini tak diperhatikan, maka akan dapat diprediksi bahwa pada masa-masa yang akan datang, kajian sastra Indonesia akan berutang banyak referensi pada publikasi yang diusahakan oleh pemerhati sastra Indonesia di luar negeri. Kita dapat menyebut sejumlah jurnal yang memiliki fokus ranah perhatian pada sastra dan budaya Indonesia yang diterbitkan oleh sejumlah universitas atau lembaga penelitian di luar.

Meski demikian, lagi-lagi patut diperhatikan situasi penelitian sastra di universitas-universitas, yang sebenarnya menjadi tulang punggung dari kehidupan kritik dan penelitian sastra kita. Pada sisi yang lain, saat ini kita menghadapi kritik-kritik yang tersebar di media massa yang mau-tidak-mau menjadi badal dari kekosongan kritik dan penelitian sastra kita. Kita berterima kasih kepada para penulis esai lepas itu karena merekalah yang tetap menjaga keberlangsungan kritik sastra. Meski dalam beberapa hal, publikasi dan sosialisasi ini memiliki keterbatasan, namun patut disadari bahwa melalui publikasi tulisan ilmiah populer ini merupakan salah satu media untuk komunikasi dan perkenalan dengan gejala sastra pada masyarakat luas.

Jika perhatian lebih dapat diberikan, usulan Amien di atas dapat dilakukan dengan cara merangsang peneliti-peneliti sastra muda dalam melakukan kerja-kerja ilmiah, sembari tetap mendapatkan perhatian dari kritikus dan peneliti sastra yang lebih dahulu mapan. Bagaimanapun, perjalanan dan perubahan masa mempengaruhi sudut pandang dan semangat yang berbeda dalam melihat berbagai gejala yang ada. Karena itu, dibutuhkan sebuah usaha serius untuk membuka dan merangsang penelitian sastra kita. Yang sudah malang melintang dalam penelitian dan penulisan kritik sastra mungkin bisa dijadikan penasihat atau editorial board atau penyandang dana, dan kini yang lebih muda diberi ruang untuk melakukan penelitian. Namun, ruang yang diberikan sebaiknya tetap sama.

Hal lain yang bisa dilakukan untuk memulai dan mewujudkan usaha ini adalah dengan mengoptimalkan dan mendukung secara penuh lembaga-lembaga, baik formal maupun nonformal, yang telah berusaha menyediakan bahan-bahan kajian. Misalnya saja, PDS HB Jassin semakin sulit melayani dan menambah koleksi karena keterbatasan yang ada. Meski patut disadari bahwa usaha ini tidak terfokus pada wilayah tertentu yang menciptakan kesulitan baru dalam hal akses. Usaha seperti ini bisa diciptakan secara sporadis dengan membuat jaringan di berbagai daerah yang potensial, dengan memulai sebuah usaha dalam mengumpulkan dan menyelamatkan bahan-bahan yang ada di berbagai tempat, menyimpan, menggandakan, menyebarkan, mengatalogkan, dan menjadikannya sebagai bahan yang mudah diakses bagi pelaku penelitian sastra kita.

Sementara ini, sejumlah akademikus di fakultas-fakultas sastra, guru-guru sastra, atau siapa pun yang berada dalam institusi yang sejenis, mungkin harus diberi penyegaran, diajak berbicara dan berdiskusi (workshop), diajak melakukan penelitian, diundang menulis, dan sebagainya. Dengan itu semua, mereka akan mendapatkan tambahan energi dan daya kejut bagi saraf-saraf sensitif berkaitan dengan penelitian sastra.

No comments: