Oleh : Rohadi Budi Widyatmoko
Sejak berabad-abad yang lalu kaum perempuan menjadi polemik yang berkepanjangan. Kaum perempuan selalu menjadi pembicaraan yang menarik bagi kaum intelektual, kaum politikus, atau para sastrawan. Kaum perempuan sebenarnya menjadi sebuah simbol untuk kemajuan ideologi pemikiran. Efek-efek negatif maupun positif selalu melekat pada diri kaum perempuan. Kaum intelektual memberikan dan menciptakan teori atau faham-faham dan opini tentang kodrati para perempuan. Bagi para sastrawan, perempuan dijadikan menjadikan sumber inspirasi yang menakjubkan. Kaum politikus memitoskan kaum perempuan untuk memperkuat kedudukan harta dan tahta.
Perempuan adalah mahluk yang fenomenal. Kaum perempuan dijadikan sebagai objek untuk konsumsi publik yang menjanjikan dan menggiurkan. Berbagai sisi dari diri perempuan akan diungkap, dikupas dan dipertontonkan tanpa ampun. Implementasi-implementasi negatif akan melekat pada diri perempuan. Kontruksi budaya tidak akan sanggup lagi mempertahankan dan menyelamatkan budaya ketimuran. Figur perempuan tidak akan lepas dari sosok yang anggun, cantik, dan bersahaja. Tetapi, dibalik semua itu ada juga argumentasi yang memposisikan perempuan sebagai sosok yang merusak dan mengerikan.
Pada era teknologi sekarang ini, perempuan masih dijadikan ikon untuk menarik perhatian konsumen. Berbagai produk akan menghadirkan sosok seorang perempuan. Sosok perempuan akan menjadi ampuh untuk menawarkan produk-produk tertentu. Upaya menjadikan perempuan sebagai objek untuk konsumsi tersebut berkebalikan dengan perjuangan perempuan dalam dunia politik. Beberapa tahun belakangan ada perombakan perpolitikan di Indonesia. Kaum perempuan diberikan jatah 30 persen di dalam lembaga perwakilan rakyat.
Konsep perempuan di dalam masyarakat Jawa adalah perempuan sebagai kanca wingking. Artinya, perempuan yang mengurusi segala sesuatu yang ada didalam keluarga dari suami, anak, mengurus rumah, dan lain-lain. Ketragisan sebuah keluarga mungkin akan terjadi. Seorang perempuan yang diharapkan bisa mengawasi, mengurus keluarga akan sibuk dengan dunia perpolitikan. Itu sudah menjadi konsekuensi.
Kebudayaan Jawa juga memandang istri (kaum perempuan) sebagai orang yang selalu menuruti kemauan suami (kaum laki-laki) yaitu macak, manak, masak. Macak dalam arti berdandan dengan tujuan menyenangkan suami, masak mengolah makanan untuk keluarga, manak artinya melahirkan untuk meneruskan keturunan keluarga. Tetapi, sekarang berbeda kaum perempuan lebih dari itu sudah ada kesejajaran antara perempuan dengan laki-laki. Sekarang ini kaum perempuan tidak hanya sekedar macak, manak, dan masak tetapi bisa mencari uang untuk keluarga. Sebenarnya perempuan bekerja hanya membantu masalah ekonomi keluarga itupun hanya sebagai sampingan. Ada keterbalikan untuk saat ini keluarga sebagai sampingan dan pekerjaan yang menjadi utama.
Perempuan dan kekuasaan memang lekat sekali hubungannya. Ada simbiosis mutualisme di antara keduanya. Perempuan dijadikan sebagai mediasi atau alat untuk mencapai sebuah tujuan. Berbagai studi kasus telah terbukti keterlibatan perempuan didalam kekuasaan. Apakah ada yang salah dengan perempuan?.
Bila kita mengenal dunia pewayangan ada salah satu petikan dalam lakon yang terkenal yakni perang Baratayuda yang mengisahkan seorang perempuan dijadikan sebagai taruhan untuk melepaskan cambuk kekuasaan. Ada dua trah (keturunan) dari Pandu, yaitu Pandawa dan Kurawa. Mereka berdua berebut kekuasaan untuk memimpin suatu wilayah. Permainan dadu yang menjadi pilihan untuk merebutkan kekuasaan. Karena pihak pandawa kalah dan kehabisan bekal akhirnya pihak pandawa mempertaruhkan seorang perempuan yang bernama Dewi Kunti.
Perempuan adalah seorang perempuan. Bagaimanapun juga kita dilahirkan dari seorang rahim perempuan. Sampai kapan pun nasib perempuan akan menjadi perbincangan yang hangat, menarik dan menjanjikan. Kaum laki-laki sepertinya terus berharap agar tidak kehilangan kekuasan atas perempuan. Jika demikiran, maka masalah perempuan masih akan terus jadi polemik.
Profil Penulis
Rohadi Budi Widyatmoko adalah mahasiswa di jurusan Sastra Daerah, FSSR, Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta dan aktif di Komunitas Cething Ombo. Nomor telepon 0856 473 53 138. Alamat penulis di Tegalrayung No.485 RT 13/ RW 04 , Pelem, Simo, Boyolali.
No comments:
Post a Comment